Siang
itu cukup terik. Kantin yang diteduhi pepohonan mengurangi rentetan sinar
mentari. Aria, Esa, Ricy. 3 orang sahabat yang selalu bersama semenjak awal
sekolah. Persahabatan mereka erat, bagai ban Bajaj.
Suatu
hari, Aria, Esa dan Ricy sedang menuju sekolah. Mereka biasa jalan bersama ke
sekolah yang letaknya dekat dengan rumah mereka.
Saat
melewati Gang Senggol, 2 orang preman sedang meminta uang kepada tukang cireng.
“Masak
aer biar mateng,” teriak Ricy, “Woy Japra, muke lu kayak panci cireng” ketiga
sahabat itu tertawa meledek Japra.
Japra,
si preman gang nampak marah. Dibuang plastik cireng itu ke jalanan. Dihampiri 3
anak sekolah itu.
“Elu
telah menghina gua sebagai PalKam disini.” Tangan Japra menunjuk ke arah Aria,
Esa dan Ricy. “PalKam apaan?” tanya Esa. “Palang Kampung?” sahut Aria.
Japra
yang kesal langsung mengepalkan tangan dan melayangkan tinju ke Ricy. Esa yang
sigap langsung menahan tinju Japra dan memukul perut Japra. Ajis, teman Japra
mencoba memukul Aria, tetapi Aria mengeles. 2 preman itu berhasil dibekuk oleh
3 sekawan ini. Mereka tergesa – gesa menuju sekolah.
Gerbang
sekolah sudah ditutup. Pak Ben, Satpam sekolah yang duduk dekat pos, sedang
asyik menyantap kopi yang terlihat masih panas dan membaca koran “Kompos”.
Dari
belakang Pak Ben, ada sebuah kotak yang biasa dibuat untuk pemulung mengambil
sampah. Dari tempat itu terdengar suara yang menggaruk, seperti ada orang yang
yang berisik. “Siapa tuh?” tegas Pak Ben. “Meoong.” Suara kucing
mengeong. “ah, kucing.” Santai Pak Ben.
Itu
adalah suara Ricy yang mengeong. Sambil menutup hidung 3 sekawan itu melewati
tumpukan sampah – sampah. Pak Ben yang lengah tidak mengetahui mereka masuk
terlambat lewat pintu ajaib.
“Kok
sekolah sepi amat deh?” tanya Esa pada kedua temannya. Kedua temannya juga
heran
“Mbok
yo sepi, wes kalian telat! Badung!” Itu adalah Pak Abu. Guru kesiswaan sekolah.
Pak Abu memergoki mereka bertiga yang datang terlambat.
Aria,
Esa dan Ricy disetrap membersihkan Wc sekolah. Di Wc itu ada kaca yang cukup besar.
“Ini
nih Wc keramat Broh katanya.” Ujar Esa.
“Keramat
gimana?” tanya Ricy heran.
“Iya.
Wc ini cuma dipake sama anak Cheers sekolah kita. Yang isinya cewek-cewek cakep
semua. Makanya yang pernah masuk Wc ini udah pasti cewe kece.”.
“Kayak
Nabilah dong, kece.” Ujar Aria tiba-tiba.
“Nabilah
kan anak Paskibra, bukan Anak Cheers.” Ucap Ricy.
“Ah,
pokoknya Nabilah tuh kece!” Nada Aria agak tinggi.
Aria
sambil membawa porstek ke luar Wc, “Dia tuh kembang sekolah.” Dan tiba – tiba.
“Brukk”
Ada
seorang gadis cantik, rambut panjang dan mempunyai lesung pipit.
Esa
mengeluarkan kepalanya dari balik Wc. “Eh, ada Nabilah.” Aria malu bukan main.
Wajahnya memerah.
“Yah,
bendera gue...” sesal Nabilah yang melihat benderanya kotor ditumpahi cairan
pembersih lantai.
“Ee..ee..yauda
sini gue yang bersihin.” Tawar Aria sambil merasa bersalah.
“Gausah.”
“Gapapa.”
Nabilah
kembali menolak. “beneran deh gausah repot-repot.”
Kini
Aria menarik bendera itu. “Beneran deh gue maksa” Aria menarik bendera itu dan
tersenyum kepada Nabilah. Nabilah hanya membalas senyum. Lalu pergi.
“Dadah
kembang sekolah” Ledek Esa.
Nabilah
hanya terus berjalan sambil senyum – senyum. Aria masih memegangi bendera itu
dengan wajah girang.
*
Sesampainya
dirumah, Aria langsung menggosok dengan papan gosok cucian dan menyikat bagian
bendera itu yang kotor. Setelah rapih, ia jemur di depannya rumahnya dengan
batangan bambu yang menyangkut pada 2 pohon. Beberapa
ayam-ayam kampung kecil berada didekat pohon itu.
Aria
kini sedang bersantai di bawah pohon rindang. Ia rebahan menggunakan tikar.
Tidak lama Esa dan Ricy datang.
“Gila
ya Mas cengar cengir.” Tanya Ricy.
“Ah,
enggak. Gue Cuma lagi ngerasain indahnya jatuh cinta.” Balas Aria.
“Jatuh
cinta diam – diam itu sama aja kayak bunuh diri pelan – pelan, Broh.” Esa
meledek.
Angin
berhembus cukup kencang siang itu, tapi suasana cukup panas.
“Mana
bendera lu nyet?” tanya Ricy.
“Lagi
dijemur, selaw.” Balas Aria santai.
“Elo
mamam tuh selaw.” Esa menunjuk kearah bendera yang tadi dijemur Aria.
Bendera
itu jatuh ke tanah dan di injak-injak oleh ayam-ayam itu.
Aria mengusir ayam-ayam nakal itu lalu mengambil bendra itu, dan mencucinya
lagi. Setelah bendera kering, Aria menyetrika bendera itu dengan rapih.
*
Suara
ayam berkokok. Aria yang sudah rapih mengenakan seragam sekolah kini mulai
menatap kaca. Sepertinya baru kali ini ia menyisir ujung poni rambutnya. Pelan
–pelan ia masukkan bendera merah putih kedalam tasnya. Ia berjalan keluar
rumah.
Di
gang ia berjalan, kedua sahabatnya berjalan disampingnya seolah – olah sambil
mengiringi lagu kemenangan untuk Aria.
Ketiga
sahabat itu berjalan di Gang Senggol. Di ujung gang ada Japra dan Ajis yang
mukanya agak bengap, beserta 3 teman mereka yang memegang balok kayu.
“Wey
Broh, lu duluan gih lewat gang sebelah. Elu mesti sampe ke sekolah buat ngasih
bendera.” Ucap Esa.
“Tapi
ntar elu ama Ricy gimana? Mereka berlima.”
“Yailah
selaw Ar, gua kan AKAMSI, Anak Kampungan Sini. Babe gua dulu pereman” Esa
menjawab.
Aria
hanya diam. Ia dengan rasa bersalah berlari meninggalkan kedua temannya. Aria
berlari ke gang sebelah. Di Gang Senggol Esa dan Ricy cukup kewalahan melawan
pereman – pereman itu.
Aria
berhenti berlari. Ia kepikiran dengan 2 sahabatnya tadi. Aria berbalik arah.
Saat
Aria kembali tiba di Gang Senggol, kedua temannya sudah cukup babak belur. Aria
mencoba membangunkan kedua sahabatnya.
“Elu
ngapain balik. Dasar koplak, ntar upacara terlambat.” Perintah Esa.
“Elu
udah lama kan nunggu moment cinta ini.” Ricy ikut komentar. Aria hanya
tersenyum.
“Ah,
percintaan bisa dilain hari, persahabatan sampai mati.” Aria melepas tasnya
lalu mengambil balok yang ada didekatnya dan menghamtam kepala preman itu.
Melihat
Aria yang bersemangat, Esa dan Ricy seperti mempunyai kekuatan tambahan untuk
bangun dan menghantam kumpulan preman itu.
Di
depan gerbang sekolah, Nabilah berdiri gelisah sambil memperhatikan jam
tangannya. Badannya tak bisa diam, Nabilah menggigiti bibirnya saking gelisah.
Pak Ben mulai menutup satu gerbang sekolah. Dari kejauhan, Aria datang dengan
wajah bengap, disusul Esa dan Rici dari belakang.
“Nab,
belom terlambat kan?” Ucap Aria sambil ngos-ngosan.
“I,
iya. Aria kok mukanya?” Tanya Nabilah
“Ah,
ini tadi kepeleset pas beli cireng. Nih benderanya.” Aria mengeluarkan bendera
merah putih dari dalam tasnya. Nabilah tersenyum lalu masuk ke dalam sekolah.
“Untung
belom terlambat Ar.” Ucap Esa. Dari dalam sekolah, Nabilah menghampiri Aria
lagi.
“Ar...”
Ucap Nabilah.
“Ya,
Nab?” Sehabis Aria bertanya, Nabilah mencium pipi Aria dan segera berlari masuk
kedalam sekolah.
“Anak
bahlul...” Ucap Esa dan Ricy meledek Aria yang sehabis dicium Nabilah.
“Sopo
seng Bahlul?” Terdengar suara Pak Abu. Aria, Esa dan Ricy mendadak panik dan
takut.
“Cah
badung. Ikut saya kalian.” Pak Abu menjewer kuping Esa dan Ricy, sedangkan Aria
ditarik oleh Pak Ben.
Upacara
dimulai. Nabilah dengan paras manisnya membawa bendera ditangannya didampingi
pengibar lainnya di kiri dan kanannya. Kini semua peserta upacara memberi
hormat. Begitu pula dengan Aria, Esa dan Ricy yang upacara di dekat tiang
bendera, dihadapan seluruh siswa sekolah sebagai hukuman karena pakaian mereka
kotor dan wajah mereka bengap.
Pak
Abu, yang berdiri di sebelah Aria berbisik. “Kowe sing tresno karo Nabilah yo?”
tanya Pak Abu.
“Hehe
iya Pak.” Jawab Aria santai.
“Modyar.
Kamu tuh berjuang banget kayaknya buat dapetin hatinya dia.” Lanjut Pak Abu.
“Iya
Pak. Mencintai dia adalah perjuangan yang menyenangkan buat saya.” Ucap
Aria.
Pak
Abu dan kedua sahabat Aria hanya bisa tersenyum melihat tingkah laku anak itu.
“Iya,
Broh, Pak Broh. Semua ini saya lakuin demi Nabilah.” Ujar Aria. Nabilah dengan
senyum manisnya mengibarkan merah putih dilangit.
***
Aditya Rizky Gunanto.