“Gab..”
Panggilku ke gadis di depanku.
“Apa?”
Jawabnya jutek.
“Entar,
abis pulang sekolah kemana?”
“Mau tau
banget?”
“Iya, mau
pulang bareng gak?”
“Gak, gue
dijemput Boy.”
“Oh, emang,
dia gak kuliah?”
“Rempong
deh lo.” Ucap Gaby, dan langung meninggalkanku.
Kepalaku
tertunduk lemas setelah mendapat perlakuan itu dari Gaby. Aku berjalan sendiri
di lorong sekolah sampai akhirnya ada dia...
“Aa... A..
A, Azzzekk, cinta ditolak, guru BP bertindak.” Ucap Ochi.
“Elu lagi.
Dari mana lu?” Tanyaku.
“Kantin,
tadi gimana Gaby?”
“Ya...
gitudeh.”
“Sebenernya
perlakuan tidak menyenangkan dan harapan palsu bisa dihukum pidana loh.” Ucap
Ochi dengan percaya diri.
“Gaya lu
kayak anak hukum aja.”
“Eh ntar
gue mau kuliah ambil jurusan hukum.”
“Iya, hukum
rimba sama hukum karma.”
“Boy tuh
siapa sih?” Lanjutku.
“Katanya
mah pacarnya, anak kuliahan gitu.” Jawab Ochi.
Mendengar
itu, akupun tertunduk lemas.
“Woles aja
kale, baru pacar, temen gue aja ditinggal tunangan masih tetep usaha.”
“Tau deh,
Chi.”
“Gaby
mana?”
“Tadi sih
udah jalan keluar sekolah.”
Saat aku dan
Ochi jalan bersama menuju luar sekolah, teman – temanku bergerombolan keluar
sekolah, mereka beramai – ramai menuju sebrang sekolah.
“Gaby!!”
Teriakku.
“Aduh, gue
panik! Mesti woles, mesti woles!” Ochi terlihat panik.
“Woy
bantuin dong! Panggil taksi! Chi sini Chi!” Panggilku ke Ochi.
“Duh, gue
lagi woles nih! Sumpah gue woles gak boong!!!” Lanjut Ochi.
“Keadaannya
membaik, untung kita cepat mendapatkan donor.” Ucap seseorang berpakaian dokter.
“Ma,
makasih dok, tapi saya tetep woles kok.” Ucap Ochi.
Ochi berdiri
sendiri, dari ujung lorong Ochi menghampiriku.
“Kok masih
lemes sih? Ayo dong semangat.” Ucap Ochi.
“Iya Chi.”
Jawabku.
Aku
dan Ochi berjalan bersama. Kami meninggalkan lorong itu. Sebelumnya aku sempat
menatap ke sebuah ruangan, yang dilapisi dengan kaca. Aku berharap banyak
dengan isi dari ruangan itu.
Hari sekolah
berjalan seperti biasa. Kulihat Gaby sedang duduk sendiri di tangga sebelah
kelasnya.
“Gab..”
“Apa?”
“Udah sembuhan?”
“Lumayan.”
“Kemarin
gimana? Udah check up lagi?”
“Cuma
bermasalah di darah doang.”
Gaby segera
bangun dari duduknya dan meninggalkanku. Aku duduk sendiri di tangga itu.
Jam
pelajaran olahrga adalah favoritku. Aku menikmati pemandangan indah kelas
olahraga. Gaby duduk bersama teman – temannya.
Aku hanya
bisa menatap Gaby dari jauh sambil bermain futsal bersama teman – temanku.
Kenapa Gaby?
Ia memegangi perutnya. Ah jangan sampai lagi.
Aku harap
tidak terlalu parah.
“Kondisinya
makin parah, kita butuh lebih banyak lagi.” Ucap dokter.
“Memang
yang tadi saya transfusi masih kurang, dok?” Tanyaku.
“Sudah
cukup, tapi untuk berjaga – jaga kalau lukanya terbuka kembali.”
“Semoga
tidak.”
“Ya,
semoga. Tapi karena kejadian waktu itu cukup parah, lukanya bisa terbuka
kapanpun jika ada benturan.”
“Hubungi
saya dok, jika butuh lagi.”
“Itu urusan
rumah sakit, sudah hampir separuh kamu ada di Gaby.”
Aku
tertunduk. Dokter meninggalkanku. Aku kini hanya bisa menatap ruangan Gaby
dirawat.
Hari ini
Gaby terlihat sudah cukup sehat, semoga tidak terjadi apa – apa lagi pada
dirinya.
“Masih
sakit gak, Geb?” tanyaku.
“Lo peduli
banget yah sama gue?”
“Gak
boleh?”
“Ngapain
sih lo sok care gitu sama gue? Kayak pernah ngasih sesuatu aja buat gue.”
Lagi – lagi
Gaby meninggalkanku.
“Chi,
Gaby mana? Gak masuk yah?” Tanyaku.
“Emang
lo gak tau?”
“Enggak
kenapa?”
“Dia
masuk RS lagi.”
“Sekarang
Gaby kenapa lagi, Dok?” Tanyaku.
“Ulu
hatinya terkena infeksi akibat luka itu, ginjalnya juga kena.”
“Lalu harus
apa dok?”
“Butuh
donor ginjal pastinya.”
Dengan
tatapan penuh harapan, aku menatap mata Dokter.
Aku yang
terduduk sendiri dikelas, dihampiri Ochi.
“Udah woles
belom?” Tanya Ochi.
“Yang
penting dia woles dulu deh.”
“Tapi lo
harus ngomong sama dia.”
“Bingung,
Chi.”
“Lo harus
ngomong sekarang, karena sebentar lagi lo gak akan punya waktu.”
Bu Guru
masuk ke kelas, di belakangnya Gaby mengikuti membawa tas. Bu Guru memberikan
pengumuman bahwa Gaby akan pindah sekolah ke luar kota. Gaby sempat mengucapkan
terima kasih pada teman – teman sekelas.
Gaby keluar
kelas sendiri. Ia membawa tas punggunya.
“Bu, saya
izin ke toilet.” Aku langsung keluar kelas.
Aku mencari
Gaby, semoga aku masih sempat mengejarnya. Gaby masih ada didepan gerbang
sekolah.
“Gab..”
Panggilku.
“Apa lagi?”
“Makasih.”
“Makasih
kenapa?”
“Makasih,
udah bisa kenal sama lo.”
“Udah?”
“Lo, udah
gak kenapa – napa kan?”
“Hem...
udah mendingan, kemarin dapet donor ginjal gatau dari siapa. Tapi gue makasih
banget sama tuh orang.”
Mendengar
itu, aku memegang perutku dengan tangan kiriku. Aku tersenyum.
“Lo kenapa
megangin perut gitu? Laper?” Tanya Gaby.
“Iya, Gab.”
“Yaudah,
gue udah dijemput. Maaf yah kalo pernah punya salah sama lo.”
Saat
mengucapkan salam terakhir, ia sempat tersenyum manis sekali padaku. Dengan
rambutnya yang panjang, senyumnya yang manis. Aku senang bisa melakukan
semuanya untuk Gaby. Karena separuh aku, kini ada di Gaby.
***