“Arrgh...”
Gumamku keras sambil membuka mata dan memegangi lutut.
“Selamat
pagi.” Ucap seorang perempuan manis memakai baju suster.
“Kamu,
siapa?” Tanyaku.
“Aku
Rezky Wiranti Dhike, aku akan merawatmu sampai kakimu sembuh ya, salam kenal.”
“I,
iya... Tapi, kakiku...” Eluhku.
“Kakimu
terbentur sangat keras di pertandingan itu. Dasar pemain bola.” Lanjut Dhike.
“Kapan
sembuhnya kira-kira?”
“Tidak
terlalu parah, paling tidak dua bulan.”
“Baguslah.”
“Kok?
Kenapa?” Tanya Dhike.
“Aku
bisa kembali merumput dan mencetak gol, lalu menjadi top skor liga utama.”
“Dasar,
ya sudah, aku akan kembali malam nanti
untuk mengecek lagi yah.” Ucap Dhike sambil mengelus lututku yang diperban.
Dhike
berjalan menuju pintu kamar, sebelum ia keluar, ia melemparkan senyum manisnya
untukku. Ah, kalau melihat senyumnya bukan kakiku yang terasa cedera, rasanya
ingin mimisan.
*
Cerahnya
mentari mulai memasuki sela-sela ruangan tempatku terbaring dan dengan sejuknya
embun pagi turut menghiasi indahnya pagi ini, namun sesuatu yang lebih indah
menyapaku.
“Hei,
sudah bangun.” Ucap Dhike sambil membawa sarapan.
“Iya..”
Jawabku pelan.
“Ini,
obatnya yang plastik biru dihabiskan ya.”
“Obatnya
enak gak?” Tanyaku
“Obat
mana ada yang enak.” Balas Dhike.
“Tapi
bisa jadi manis, tergantung sama siapa makan obatnya.” Godaku pada Dhike.
“Dasar.
Semalam pelatih dan rekan timmu datang menjenguk, keluargamu kemana?”
“Karena
aku bermain di klub kota ini sendiri, maka aku tinggal di mess bersama tim.”
“Pacar?”
Tanya Dhike.
“Ha?
Gak ada.”
“Yakin?”
“Sangat
yakin.” Balasku tegas.
“Ya
sudah, semoga cepat sembuh yah.” Lanjut Dhike.
Ia
merapikan selimutku dan keluar dari kamar. Ah, aku yakin obat itu pasti pahit. Sebaiknya
tadi aku minum sambil melihat Dhike, rasanya pasti manis.
*
Suasana
Rumah Sakit sore itu sedikit sepi dari biasanya. Karena bosan terus-menerus
dikamar akupun memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar keliling Rumah Sakit.
Dengan bantuan kursi roda, aku menggunakannya untuk mencari cafetaria. Bosan
aku dengan bubur, dan enyah saja kau obat.
“Haaaaii,
kamu kok jalan-jalan sih.” Dhike memanggilku dari belakang.
“Eh,
kamu, Neng Rezky suster paling cantik di RS ini.” Godaku kepadanya.
“Kamu
mau ngapain? Mau aku temenin?” Seru Dhike.
“Aku
mau cari makan, bosen soalnya makannya itu-itu terus.” Jawabku.
Dhike
mendorong kursi rodaku. Kami menuju cafetaria. Sesampainya disana, aku menunggu
di sebuah meja, dan Dhike membawa mangkuk berisi makanan.
“Kalo
pemain bola doyan gak sama makanan kayak gini?” Tanya Dhike.
“Wah
ini enak banget Neng Rezky”. Dengan lahap kuhabiskan kolak pisang itu.
“Iya
enak sih enak, tapi jangan panggil aku dengan sebutan Neng Rezky dong.” Keluh
Dhike.
“Yah,
kalo pake Neng kan rasanya lebih gimana gitu...” Godaku.
“Lebih
apa? Hayo lebih apa?” Tanya Dhike penasaran.
“Lebih
manis...”
“Awas
ntar diabetes.”
Kalau
aku tiap hari bertemu dengan Dhike, aku rela cederaku makin panjang, asal jangan
makin parah. Bagiku, Dhike adalah sosok wanita bisa membuat pria mana saja
jatuh hati dengan hanya melihat wajahnya, selain memiliki paras yang cantik ia
juga merupakan perempuan yang sangat ramah.
*
Lebih
cepat dari hari di kalender, aku pun mulai membuka perban di kakiku. Makin hari
cederaku makin sembuh, dan makin dekat pula aku dengan Dhike.
“Aww!!”
Teriakku kesakitan.
“Sakit
ya?” Tanya Dhike merasa bersalah.
“Gak
terlalu, yang sakit tuh... kalo kehilangan kamu.”
“Dasar,
ya sudah, aku harus ganti shift dengan suster lain, kamu cepet sembuh yah.”
Ucap Dhike.
Dhike
langsung segera keluar dari kamarku. Saat aku menoleh ke atas meja, ada sebuah
map yang tertinggal dan dibaliknya ada sebuah buku, berwarna merah dengan
sampul telunjuk tangan yang menutupi mulut. Kubuka buku itu dari pembatas yang
terselip. Aku terbelalak dengan satu kalimat di isi buku itu.
“Mencintai seseorang itu bukan dari kapan ia
memulainya tapi sampai kapan ia mengakhirinya.”
Aku
harus bilang wow! untuk kalimat ini. Ini seperti apa yang kurasakan.
“Tapi
apa Dhike bisa merasa yakin dengan perasaan yg aku miliki sekarang?” Gumamku
dalam hati.
*
“Haaaai,
kamu baru bangun” Suara yang tidak asing itu membangunkanku.
“Eh,
kamu? Ngapain disini?” Ucapku pada seorang gadis.
“Aku
kan mau jenguk pacarku, gak boleh?” Ucap gadis itu.
“Sejak
kapan kamu mau punya pacar pemain sepak bola? Bukannya anak band lebih keren?
Bisa ikut tour keliling Kabupaten?”
“Kamu
kok ngomongnya gitu sih?”
“Ya
gimana aku gak kesel, kamu ninggalin aku seenaknya, dan dateng lagi sesuka
kamu.” Ucapku kesal.
“Aku
kesini mau minta maaf sama kamu. Kenapa sih kamu gak ngabarin kondisi kamu?”
Ucap gadis itu sambil memegang erat tanganku.
Sudah
kupastikan aku tidak akan terbuai dengan godaannya kali ini. Disaat yang
bersamaan, Dhike masuk ke kamar sambil membawa sarapan.
“Haloooooo!!
Banguuuun tukang tidur! selamat pagiiiiiiiiii!!” Ucap Dhike dengan ceria.
Saat
Dhike melihat tanganku sedang dipegang oleh wanita itu, Dhike mendadak pucat
dan gugup.
“Maaf,
kalo ganggu kalian.” Ucap Dhike sambil meninggalkan kamar.
“Itu
siapa?” Tanya wanita itu.
“Rezky
Wiranti Dhike, jodohku yg tertunda!” Tegasku.
Wanita
itu melepaskan genggaman tangannya. Ia terlihat sedih, matanya memerah. Ia
mengusap wajahnya.
“Aku
sudah menemukan pengganti dirimu, yang jauh lebih baik dan mau menerima aku apa
adanya, tanpa harus aku menjadi orang lain.” Ucapku pada wanita itu.
“Siapa?
Si suster itu?”
“Ya.”
“Ummm...
Kalau memang kamu bahagia bersamanya aku ikhlas, ini semua memang salahku, aku
yg menanam benih dan akulah yg harus menanggungnya.” Ucap wanita itu.
Wanita
itu menangis sambil berjalan keluar kamar. Aku mencoba beranjak dari kasur dan
mencoba mencari Dhike yang terlihat sedih saat meninggalkan kamar tadi.
Dhike
berlari menuju taman kecil yang ada di belakang Rumah Sakit. Dari rona wajahnya,
ia terlihat sedih dan bingung dengan apa yang baru saja ia lakukan. Ia bingung
mengapa harus kesal dengan kehadiran sosok wanita tadi dihadapannya, padahal
aku bukanlah siapa-siapa dirinya, selain hanya pasien biasa seperti yg lain.
“Cinta
itu bukan dari kapan memulainya kan, tapi sampai kapan ia mengakhirinya”.
Teriakku memecah kesepian pagi itu di taman.
Dhike
pun menoleh ke arahku, ia terlihat bingung dengan kata-kata yg baru saja aku
ucapkan. Aku berjalan ke arah Dhike, sambil terus menatap matanya.
“Apa
maksudmu”? Tanya Dhike.
“Aku
tidak peduli kalau aku baru saja mengenalmu, tetapi yang aku peduli aku mau mencintaimu
sampai akhir hidupku.” Jawabku.
Wajah
Dhike terlihat terharu, matanya berlinang. Pelan – pelan aku berjalan
kearahnya, ia pun membantuku duduk di tepi kolam taman. Setelah duduk berdua,
aku menawarkan kolak pisang kesukaanya yg baru saja kubeli untuk kami sarapan
pagi.
***
Sumber : JKT48Fans